Sejarah Berdirinya Masyumi
Latar Belakang Berdirinya Partai Masyumi
Tanggal 21 september 1937 atas
kesadaran pemimpin-pemimpin Organisasi
Islam, mereka menyatukan diri dalam suatu federasi yang disebut Majelis Islam
A’la Indonesia yang disingkat dengan MIAI, sebagaimana dikatakan Ahmad Syafii
Maarif (1995:17) dalam bukunya Islam dan Kenegaraan sebagai berikut “Majelis
Islam A’la Indonesia (MIAI) lahir atas inisiatif K.H. Mas Mansur dari
Muhamadiyah, K.H.M. Dahlan dan K.H. Wahab Hasbullah dari, Nahdatul Ulama,
Wondoamisseno dari Serikat Islam dan tokoh organisasi Islam lainnya separti
Persatuan Ulama dan Al-irsyad”, berdasarkan kutipan tersebut dapat dipahami
bahwa pendirian MIAI adalah inisiatif dari para pemimpin organisasi-organisasi Islam
untuk menyatukan diri dalam satu organisasi Islam. Tanpa ada campur tangan dari
pihak penjajah.http://catansolihin.blogspot.com/
Pada bulan Oktober 1943 pihak Jepang
membentuk organisasi baru untuk mengendalikan Islam. Sebagaimana dikatakan M.C.
Ricklefs (1995:304), dalam bukunya, Sejarah Indonesia Modern mengatakan “MIAI
dibubarkan dan digantikan oleh Masyumi (Majlis Syuro Muslimin Indonesia)”.
Sejalan dengan itu dalam bukunya Bulan Sabit dan Matahari J, Benda
(1980:185) juga mengatakan “diciptakannya
organisasi baru tersebut (Masyumi) yang diberi status hukum langsung pada hari
didirikannya, tak ayal lagi merupakan kemenangan politik Jepang terhadap
Islam”.
Jadi dari apa yang diungkapkan di
atas pembubaran MIAI yang kemudian digantikan dengan Masyumi adalah salah satu
politik Jepang untuk mengendalikan umat Islam di Indonesia, Selanjutnya setelah
resmi Masyumi sebagai pengganti MIAI,
kepemimpinan Masyumi diserahkan kepada tokoh Muhamadiyah dan NU sebagaimana
dikemukakan M.C. Ricklefs (1995:309) dalam bukunya Sejarah Indonesia Modern
mengatakan “kepemimpinan Masyumi diserahkan kepada tokoh-tokoh Muhamadiyah dan
NU. Pendiri NU, Hasjim Asjari, dijadikan sebagai ketuanya, namun ia tetap
tinggal di pesantren nya di Jombang dan menjadi ketua efektipnya adalah
putranya, Kyai Haji Wachid Hasjim”.
Masyumi pada masa Jepang ini berbeda dengan
pendirian MIAI. Pembentukan MIAI bebas dari campur tangan penjajah, sedangkan
pembentukan Masyumi dalam pergerakan tetap diawasi oleh Jepang sampai akhir
pendudukannya di Indonesia.http://catansolihin.blogspot.com/
Pada bulan September 1945
berkumpullah tokoh-tokoh Islam Indonesia seperti Agus Salim, Abi Kusno, M. Natsir, Wali Alfatah Sukiman
dan Gafar Ismail untuk mengadakan musyawarah merencanakan pembentukan partai.
Ide untuk menyatukan seluruh potensi masyarakat Indonesia diperkuat oleh
Maklumat Pemerintah No. X tanggal 3 Nopember 1945. Tokoh-tokoh Islam menyambut
baik anjuran pemeritah tersebut, maka pada tanggal 7 dan 8 Nopember 1945
diselenggarakan suatu kongres umat Islam Indonesia di Yogyakarta. Salah satu
keputusan kongres tersebut adalah dibentuknya suatu partai politik yang dapat
menyalurkan aspirasi politik umat Islam Indonesia yang sekaligus merupakan
satu-satunya partai politik yang mewakili golongn Islam di Indonesia. Partai
ini disepakati oleh peserta kongres dengan nama Partai Politik Islam Majlis
Syuro Mulimin Indonesia dan untuk selanjutnya disebut Masyumi saja (Mukadimah
Anggaran Dasar Masyumi,1945).
Masyumi ini tidak sama dengan masa Masyumi Jepang karena ia dijadikan oleh
umat Islam sendiri tanpa campur tangan pihak luar. “Adapun pemakaian nama
Masyumi hanya semata-mata hasil Musyawarah bulan Nopember” (Ma’arif, 198:110).
Berdasarkan kenyataan pada waktu itu, Masyumi pada awal kemerdekaan merupakan
suatu partai politik sedangkan Masyumi pada masa pemerintahan Jepang bukan
partai politik tetapi aktifitas politiknya sudah nampak.
b. Aktivitas Masyumi Dalam Perjuangan Politik
(Diplomasi) di Era Revolusi Fisik
Dalam
UUD 1945 telah diatur Presiden adalah pemegang kekuasaan pemerintah. Hal ini
berjalan pada tiga bulan pertama Republik Indonesia berdiri. Presiden Soekarno
pada bulan Agustus 1945 membentuk kabinet pertama Republik Indonesia. kabinet
tersebut digantikan oleh kabinet Syahrir yang disetujui oleh presiden dan KNIP
pada tanggal 14 Nopember 1945. Pembentukan kabinet syarir dimagsudkan untuk membersihkan kalangan
pemerintah dari orang-orang yang telah bekerja sama dengan Jepang ( Brosur,
Syahrir, Perjuangn Kita ). Dengan demikian telah terjadi suatu perubahan sistem
pemerintahan Presidentil ke sistem pemerintahan parlementer. Sehubungan dengan
diubahnya sistem pemerintahan, Partai Islam Masyumi tidak setuju dengan
perubahan sistem tersebut. Sebagai mana diungkapkan ( Noer,1987:154) “Partai
Islam Masyumi kecewa dengan perubahan sistem pemerintahan ini karena menurut
mereka sistem presidentil akan lebih menjamin kestabilitasan Pemerintahan”.
Masyumi tidak hanya menolak pergantian sistem pemeritahan, tetapi juga
menyatakan tidak percaya pada kabinet yang ingin menyelesaikan pertikaian
dengan Belanda melalui perundingan. Masyumi menganggap pemerintah tidak dapat
memahami perubahan dratis mental Indonesia yang dulu lemah tidak berdaya,
sekarang penuh semangat perjuangan (Militan).
Ketidakpercayaan Masyumi kepada
kabinet Syharir akhirnya menimbulkan tuntutan perubahan kabinet Syahrir serta
tuntutan suatu kabinet koalisi. Dalam hal ini Maysumi satu kubu dengan
Persatuan Perjuangan yang dipimpin oleh Tan Malaka. Partai-partai lainnya
setuju dengan apa yang dikemukakan oleh Masyumi tentang pergantian sistem
kabinet serta tuntutan kabinet koalisi, misalnya keputusan yang diambil oleh
kongres PNI tanggal 20 – 30 januari 1946. Dan juga disokong oleh Persatuan
Perjuangan tanggal 20 Pebuari 1946. Tekanan–tekanan koalisi ini berhasil juga
akibatnya, kabinet Syahrir dibubarkan sebagaimana diungkapkan Sebagai mana
diungkapkan ( Noer,1987:154) “Syahrir mengembalikan mandatnya kepada Presiden
Soekarno pada tanggal 28 Pebuari 1946 di Solo” (Noer, 1987: 157).
Tanggal 12 maret 1946 diumumkan
kabinet baru di bawah pimpinan kabinet Syahrir (Syahrir
II), dalam kabinet ini, Tercatat empat tokoh Masyumi masuk kedalam
kabinet ini. Mereka adalah Arudji Kartawinata, (Menteri Muda Pertahanan),
Syapruddin Prawiranegara (Menteri Muda Keuangan), M. Natsir (Menteri
Penerangan), dan Mohammad Rasyidi (Mentri Keuangan). Mereka duduk dalam satu
kabinet sebagai perorangan dan bukan sebagai wakil-wakil Partai. Masyumi
sebagai partai meneruskan sikap oposisinya terhadap kabinet tersebut. http://catansolihin.blogspot.com/
Peristiwa
3 juli 1946 dalam suatu usaha perebutan kekuasaan, karena keadaan darurat
kabinet Syahrir dibubarkan dan semua kekuasaan kembali lagi pada Presiden. Pada
tanggal 2 oktober 1946 keadaan berangsur jernih kekuasaan pemerintah diserahkan
kembali oleh Presiden kabinet yang lagi-lagi dipimpin oleh Syahrir. Dalam kabinet
ini ada enam orang anggota Masyumi, yaitu Mohammad Roem (Mentri Muda Dalam Negeri), Mohammad
Natsir (Menteri Penerangan), Jusuf Wibisono (Menteri Muda Kemakmuran),
Sjafruddin Prawinegara (Menteri Keuangan), Fathurrahman (Menteri Agama), dan
Wahid Hasjim (Menteri Negara). Seperti halnya kabinet- kabinet sebelumnya
partisipasi mereka bersipat perorangan, bukan atas nama partai karena merasa
bertanggung jawab terhadap Republik.
Dalam
perundingan Linggarjati Syahrir ditunjuk sebagai wakil Indonesia dan Dr. H. j.
Van Mook dari Belanda. Perundingan ini mempertemukan secara resmi antara
Indonesia dan Belanda dalam usaha menyelesaikan persengketaan antara dua Negara
tersebut. Perundingan ini dimulai pada tanggal 10 Nopember 1946. Pemerintah
Indonesia menjalankan politik Diplomasi dengan tujuan pengakuan terhadap
kedaulatan Indonesia dari pihak Belanda. Pada tanggal 15 Nopember 1946 dicapai
kata sepakat dalam perundingan tersebut.
Ketika hasil perundingan Linggarjati diajukan
kepada Komite Nasional Pusat (KNIP) yang berlangsung di Malang untuk disyahkan,
dalam sidang terjadi debat yang cukup seru antara pihak yang menentang dengan
pihak yang mendukung pemerintah. Pihak Masyumi dengan tegas menentangnya.
Masyumi berpendapat bahwa hasil perundingan Linggarjati tidak menguntungkan
bagi perjuangan Negara atas dasar kemerdekaan seratus persen, karena Belanda
dalam perundingan tersebut hanya mengakui De Facto Republik atas Sumatra, Jawa
dan Madura.
Untuk mengatasi pertentangan pendapat itu
dikeluarkan peraturan Presiden No.6/1946 tentang penambahan anggota KNIP.
Peraturan Presiden tersebut ditentang keras oleh Masyumi dan PNI, demikian pula
Badan Pekerja KNIP menentang peraturan itu. Peraturan itu tetap berlaku dan
dilaksanakan penambahan anggota KNIP. Yunan Nasution dalam badruzzaman Busyairi
sebagai mana dituliskan Busyari dalam bukunya Catatan Perjuangan H.M. Yunan
Nasution mengatakan “Bahwa perubahan keanggotaan KNIP sudah lama direncanakan.
Rancangan pemerintah adalah anggota KNIP pilihan dari daerah seratus sepuluh orang,
enam puluh orang wakil partai politik dan 10 orang diangkat presiden”
(Busyairi, 1985: 199).
Dari apa yang dikemukakan di atas, bahwa
penambahan anggota KNIP memang sudah lama di rencanakan oleh pemerintah pada
waktu itu, sehingga walaupun ditentang oleh Masyumi, PNI dan dari anggota KNIP
sendiri , peraturan Presiden No. 6/1946 tentang penambahan anggota KNIP tetap
dilaksanakan.
Perkembanagan–perkembangan
politik bekembang dengan cepat, yang memerlukan adanya segera satu KNIP yang
dianggap lebih sempurna dari yang sudah-sudah, maka dengan menggunakan hak
prerogratif. Presiden mengeluarkan hak pregrogratif, presiden mengeluarkan
dekrit No.6/1946 dimana diatur penambahan anggota KNIP. Menurut dekrit
tersebut, jumlah anggota-anggota yang ditambah dengan perwakilan dari
partai-partai, golongan-golongan dan daerah-daerah sebagai berikut : Masyumi 60
kursi, PNI 45, Partai Sosialis 35, PBI 35, Golongan Buruh 40, Golongan Tani 40,
Parkindo 8, PKRI 4, selain itu perwakilan dari daerah ditambah pula. Demikian
seluruh anggota KNIP akan berjumlah lebih kurang 500 anggota.
Dengan penambahan itu, pemerintah berhasil
mendapat dukungan cukup suara didalam sidang KNIP untuk meratifikasi
persetujuan Linggarjati.
Pada
tanggal 25 maret 1947 naskah perjanjian Linggarjati ditandatangani oleh
Delegasi Indonesia dan Belanda di Jakarta. Kemunduran diplomasi yang jauh dari
tuntutan semula telah merusak dukungan terhadap kabinet Syahrir, Ia dipaksa
mengundurkan diri pada akhir Juni 1947. Dalam bukunya (Noer,1987:169) mengungkapkan
“Masyumi benar-benar menolak kebijaksanaan kabinet Syahrir, apalagi setelah
lebih banyak konsesi diberikan kepada pihak Belanda. Pendirian yang sama dari
banyak partai lain menyebabkab Syahrir menyerahkan mandatnya tanggal 27 Juni 1947”.
Kabinet berikutnya adalah kabinet
Syarifuddin. Pembentukan kabinet ini merupakan arti tersendiri bagi Masyumi,
karena menyebabkan perpecahan Masyumi. Pada tanggal 30 Juni 1947 presiden
memberikan mandat kepada Amir Syrifuddin (Sosialis), Sukiman (Masyumi) dan A.K.Gani
(PNI) serta Setiadjid (Buruh) untuk membentuk suatu kabinet koalisi. Tetapi
usaha ini gagal karena tuntutan Masyumi terhadap kursi Perdana Menteri, Menteri
Pertahanan dan Menteri Luar Negeri tidak dikabulkan. Akhirnya tanggal 2 Juli
1947 presiden menunjuk Amir Syahrifuddin, A.K. Gani serta Setiadjit sebagai Formatur kabinet. Mereka berhasil
membentuk kabinet koalisi dengan Amir Syahrifuddin sebagai Perdana Menteri.
Kursi Menteri Pertahanan juga diduduki oleh Amir Syarifuddin. Sedangkan dari
golongan Islam yang duduk dalam kabinet adalah anggota PSSI. “Golongan Islam
diwakili oleh PSSI yang didirikan kembali untuk mewakili golongan Islam dalam
Kabinet” (Noer, 1987:170) yang berarti PSSI keluar dari anggota istimewa
Masyumi.
Tanggal 13 Nopember 1947 tokoh-tokoh Masyumi
bersedia duduk dalam kabinet Amir Syarifuddin. karena merasa bertanggung jawab
atas perjuangan Republik Indonesia menghadapi Belanda. Dalam bukunya Deliar
Noer mengatakan:
karena merasa bertanggung jawab
atas perjuangan Republik Indonesia menghadapi Belanda, pada tanggal 13 November
tokoh-tokoh Masyumi bersedia duduk dalam kabinet Amir Syarifuddin maka
Syamsuddin dari Masyumi mengagantikan A.K. Gani dari PNI sebagai wakil Perdana
Menteri I (PM I) dan A.K. Gani menjadi
wakil Perdana Menteri IV, Setiadjid (Partai Buruh) menjadi wakil Perdana
Menteri III, K.H. Masykur menjadi Menteri Agama mengagantikan K.H.A. Asya’ari
(PSII), Kasman Singodimejo (Masyumi) menjabat wakil Menteri Kehakiman. Maka
sejak itu kabinet Amir Syarifuddin mendapat dukungan penuh dari Masyumi ( Noer,
1987:175).
Perundingan Linggarjati diingkari Belanda
dengan melancarkan Agresi Militer Pertama sehingga persengketaan
Indonesia-Belanda kembali bergejolak. Untuk upaya penyelesaianya, Perserikatan
Bangsa Bangsa (PBB) turun tangan untuk membentuk Komisi Jasa Baik atau Komisi
Tiga Negara (KTN) guna mempertemukan Indonesia–Belanda dalam meja perundingan.
Usaha Komisi Tiga Negara (KTN) yang
diwakili Amerika (Frank Graham), Australia (Richard Kirbi) dan Belgia (Paul Van
Zeeland) berhasil membawa Indonesia–Belanda dalam “Perundingan Renville” (8
Desember 1947). Dalam perundingan ini Amir Syarifuddin menjadi wakil dari
Indonesia. Sebagaimana diungkapkan
(Ricklef, 1985:339) sebagai berikut:
Dalam perundingan Renville
Delegasi Indonesia diwakili oleh Amir Syarifuddin dan Belanda diwakili oleh
Abdul Kadir Widjiyatmidjo. Situasi saat itu tidak menguntungkan bagi Indonesia
karena kemajuan yang dicapai oleh Belanda dan dukungan Sekutu terhadap Belanda,
sehingga Belanda lebih leluasa mengambil tindakan di Republik Indonesia
(Ricklef, 1985:339).
Posisi Amir Syarifuddin sangat berat apalagi
setelah disodorkan ultimatum Belanda mengenai 12 prinsip-prinsip politik dan 6
pasal tambahan dari KTN. Bagi Amir Syahrifuddin tidak ada pilihan lain, kecuali
mengikuti kehendak Belanda, dan akhirnya menandatangani “Persetujuan Renville” pada tanggal 17 Januari 1948
(Noer,1987:175). Tindakan Amir menandatangani Perjanjian Renville menimbulkan
krisis hebat. Dan sikap Partai Masyumi yang dikeluarkan oleh Majlis Syuro
(Lembaga Legeslatifnya) menetapkan sikap menolak, karena sejarah mencatat
Renville lebih rendah nilainya dibandingkan Linggarjati dan katanya pihak
Indonesia terlalu banyak memberikan konsesi terhadap Belanda. Dalam bukunya
Deliar Noer mengatakan :
Penolakan Masyumi terhadap
persetujuan Renville didasarkan pada dua alasan. Pertama, isi persetujuan lebih
menguntungkan pihak Belanda. Kedua, Sikap ketua delegasi Indonesia ( yaitu
Perdana Menteri Amir Syarifuddin ) yang tidak menolak tuntutan Belanda didalam
perundingan padahal penolakan ini sudah merupakan keputusan kabinet(Noer,
1987:175).
Jadi
dari apa yang dikatakan di atas, Masyumi menolak dengan tegas perjanjian
Renville tersebut dikarnakan perjanjian itu lebih menguntungkan pihak Belanda
dari pada pihak Indonesia dan menganggap Amir Syarifuddin sebagai delegasi dari
Indonesia tidak tegas dalam pelaksanaan perjanjian itu.
Dalam
sidang yang diadakan pada tanggal 18 januari 1948 Dewan Partai Nasional
Indonesia menuntut supaya kabinet Amir Syarifuddin dibubarkan. Akhirnya kabinet
Amir yang hanya didukung oleh sayap kiri tidak berhasil menguasai keadaan, maka
tanggal 23 Januari 1948 Amir menyerahkan mandatnya kembali kepada Presiden.
Sebagai
pengganti Amir Syarifuddin, Presiden menunjuk wakil Presiden Mohammad Hatta
untuk membentuk suatu kabinet Presidentil darurat (1948-1949) yang bukan
bertanggung jawab kepada KNIP melainkan Soekarno sebagai Presiden. Para anggota
kabinetnya berasal dari golongan tengah terutama terdiri dari orang-orang
Masyumi, PNI dan tokoh yang tidak berpartai. Dalam kabinet ini Hatta menawarkan
kedudukan Tiga Menteri portofolio untuk sayap kiri namun mereka meminta paling
sedikit empat kursi Menteri, termasuk jabatan Menteri Pertahanan yang akan dipegang oleh Amir Syarifuddin. Sikap
Masyumi menolaknya dengan tegas karena Amir selama memegang jabatan tersebut
pada kabinet terdahulu telah menggunakan anggaran untuk memperkuat golongannya
dikalaangan Militer.
Karena
permintaan mereka ditolak maka Amir Syarifuddin menyatakan sikap oposisi
terhadap Kabinet Hatta. M.C. Ricklefs, dalam bukunya, Sejarah Indonesia Modern
mengatakan “dalam kabinet Hatta, Amir
Syarifuddin dan sayap kiri menjadi oposisi” (Riclef, 1985:340) maka “pada
tanggal 29 Januari 1948 telah terbentuk Kabinet Republik Indonesia ke-6 tanpa
sayap kiri” (Deliar Noer 1987:176).
Keterlibatan
Masyumi yang sangat penting dalam tulisan ini adalah menyangkut peran partai
tersebut, sekurang-kurangnya tokoh-tokohnya dalam menyelesaikan Revolusi,
terutama dari masa aksi militer Belanda ke-2 yang dilancarkan pada tanggal 19
Desember 1948.
Dalam
aksi militer Belanda ke-2 yang dilancarkan pada tanggal 19 Desember 1948 dengan
menduduki Yogyakarta dan berhasil menawan Presiden dan Wakil Presiden serta
beberapa penjabat tinggi lainnya. Mengenai penawanan Presiden dan Wakil
Presiden tersebut, Drs. Supartono Widyosismoyo dalam bukunya Sejarah Nasional
Indonesia dan Dunia menyatakan “ Presiden Soekarno diterbangkan ke Prapat dan
Moh. Hatta ke Bangka” (Widyosismoyo,1991: 58).
Syafruddin
Prawiranegara telah memprakasai pembentukan Pemerintah Darurat Republik
Indonesia (PDRI) di Sumatra tengah. Dalam wawancara Deliar Noer dengan
Syafruddin ia mengatakan “ia tidak
menerima intruksi apapun dalam hal ini dari pemerintah pusat di Yogyakarta,
baik sebelum maupun sesudah serangan Belanda. Pemeritah pusat sebenarnya
memberinya mandat untuk mendirikan pemeritah darurat itu tetapi ini tidak
pernah ia terima (Noer,1985:187-188)
Dari
apa yang dikataakan di atas pemerintahan darurat yang dibentuk oleh Syafruddin
adalah prakarsanya sendiri, karena ia tidak menerima intruksi apapun dari
Pemeritah pusat di Yogyakarta baik sebelum maupun sesudah serangan Belanda ,
walaupun Pemerintah pusat sendiri memberinya Mandat untuk mendirikan
Pemerintahan darurat itu. Tetapi intruksi mandat itu tidak pernah ia terima,
Dengan
adanya PDRI mempunyai arti penting bagi keberadaan Indonesia di dunia
Internasional serta memicu semangat pejuang-pejuan RI, sebagaimana dikemukakan
oleh Badruzzaman Busyari dalam H. Endang Syaifuddin Anshary dalam bukunya Pak
Natsir 80 Tahun sebagai berikut :
Dari kontak yang
dilakukan PDRI, memungkinkan dunia luar makin mengetahui keadaan Indonesia yang
sebenarnya, sehingga merangsang lahirnya Inter Asian Conference di New Delhi
yang membicarakan berbagai hal tentang perjuangan Indonesia menghadapi agresi
Belanda. Dan pada gilirannya merangsang badan Internasional PBB turun tangan,
menengahinnya. Sementara itu, rakyat dan lasykar-lasykar perjuangan bersama Pak
Dirman terus memacu perjuangan lewat gerilya, mempertahankan dan merebut
kembali wilayah RI yang telah diduduki Belanda (Anshari., 1988 : 159).
Dari
apa yang dikemukakan di atas dibentuknya PDRI telah menggemparkan dunia
Internasional, sehingga dunia Internasional tahu bagaiman keadaan Indonesia yang
sebenarnya dan merangsang badan Internasional PBB untuk turun tangan
menengahinya serta memicu semangat pejuang-pejuang RI untuk mempertahankan dan
merebut kembali wilayah RI.
Aksi
militer ke-2 diselesaikan dengan perundingan resmi Indonesia dan Belanda
dimulai tanggal 14 April 1949 dengan pengawasan dari PBB yang diwakili oleh
Unitet Nations Commission For Indonesia (UNCI). Delegasi Indonesia diketuai
oleh M. Roem, seorang tokoh Masyumi yang menjadi Menteri Dalam Negeri pada
kabinet M. Hatta., M. Natsir juga turut dalam delegasi Indonesia sebagai
penasehat. Sedangkan ketua delegasi Belanda J.H. Van Royen. Persetujuan dicapai
pada tanggal 9 Mei 1949. Hasil persetujuan tersebut antara lain Yogyakarta
diserahkan kembali kepangkuan RI, gencatan senjata Indonesia – Balanda dan
pembebasan tawanan para pemimpin Indonesia.
Persetujuan
Roem-Royen membuka jalan bagi pulihnya kekuasaan dan kedaulatan RI, dan
demikian memungkinkan diselenggarakan Konfrensi Meja Bundar (KMB), yang telah
disepakati oleh kedua belah pihak. KMB dilaksanakan pada tanggal 23 Agustus
sampai 2 Nopember 1949 di Den Haag.
Dalam
KMB, Hatta memimpin delegasi RI dan M. Roem menjadi wakil ketua. Hasil
persetujuan yang terpenting dalam KMB ini adalah pengakuan kedaulatan Indonesia
oleh Belanda. Kedaulatan Indonesia diserahkan oleh pihak Belanda kepada
Indonesia pada tanggal 29 Desember 1949 di Den Haag.
c. Aktivitas Masyumi Dalam Perjuangan Fisik
Masyumi sebagai
Partai Politik Islam tidak hanya berjuang dalam soal politik dan system
kenegaraan semata tetapi berjuang dalam hal revolusi fisik . partai politik
Masyumi mengambil inisiatif untuk menata kembali barisan perjuangan Islam
seperti Hizbullah dan Sabilillah . kedua lasykar itu merupakan pusat komando
perjuangan Masyumi dalam membela negara. Pembentukan barisan perjuangan
Hizbullah dan Sabilillah adalah menjawab hasil keputusan Muktamar Masyumi
pertama tahun 1945. Sebagai mana dikatakan H. Endang Syaifuddin Anshari dalam
bukunya Pak Natsir 80 Tahun mengungkapkan “Hizbullah dan Sabilillah merupakan
lasykar-lasykar yang cukup disegani dan dalam berjuang selalu bergandengan
dengan BKR-TKR” ( 1988:158).
Dari ungkapan di
atas, Masyumi tidak hanya berjuang dalam pemerintahan saja, tetapi dalam
perjuangan fisik Masyumi menurunkan lasykar-laskarnya untuk membantu BKR-TKR
dalam mengangkat senjata melawan penjajah.
d. Masa Revolusi Fisik
Pemerintahan
masa revolusi fisik adalah masa yang penting bagi sejarah bangsa Indonesia
dimana pada masa ini rakyat Indonesia berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan
bangsa Indonesia baik dengan cara diplomasi maupun dengan berjuang mengangkat
senjata. Menurut pendapat Bambang
Sarwiji (2006:471) dalam Kamus Pelajar Bahasa Indonesia mengatakan “Revolusi
ialah pengubahan sistem pengurusan negara dan biasanya melalui kekerasan atau
peperangan”.
Jadi
dari ungkapan di atas, revolusi telah terjadi untuk mengubah Indonesia dari
negara jajahan menjadi negara yang merdeka penuh, baik dengan cara diplomasi
maupun dengan peperangan.
Partai
Islam Masyumi selama priode revolusi telah berbuat banyak untuk bangsa dan
negara serta umat Islam Indonesia khususnya. Dalam meja perundingan, peranan
Partai Islam Masyumi menjadi sangat
berarti , tidak semua perundingan itu dapat diterima oleh Partai Masyumi,
seperti perundingan Linggarjati yang hasilnya tidak menguntungkan bagi usaha
mempertahankan kemerdekaan. Dari itu masyumi menolak tegas ketika perundingan
itu mau diratifikasi, juga sikap tegas Masyumi terhadap perjanjian Renville
yang dinilainya lebih rendah dari perundingan Linggarjati. Sebagaimana yang
dikemukakan oleh Dr. Soekiman Wirjosendjojo dalam A. Syfii Ma’arif, sebagai
mana yang di kutif Syafii Ma’arif (1988:33) dalam bukunya Islam dan Kenegaraan
sebagai berikut :
Dalam
hubungan ini tidaklah disangsikan lagi bahwa masyumi merupakan kekuatan yang
telah mempertahankan kemurniaan cita-cita kemerdekaan , tidak dapat dibelokkan
oleh mereka, yang memegang tampuk pimpinana negara pada jalan-jalan yang
menimpa dari tuntutan jiwa patriot bangsa Indoneia, telah menolak perjanjian
Linggarjati dan Renville yang dipelopori oleh mereka yang sekarang (1945) ini
membanggakan dan menamakan diri golongn revolusioner - progresif….
Dari ungkapan di atas, jelaslah bahwa Masyumi
sebagai partai politik mempunyai jasa yang besar terhadap republik, selain itu
juga Masyumi merupakan partai yang cukup banyak berjuang dalam menegakkan dan
mempertahankan kemerdekaan republik.
B. Hasil Penelitian yang Relevan
M. Hermawan Eriadi 2006 Mahasiswa Pasca
Sarjana Ilmu Politik UI dalam Artikelnya yang berjudul Kiprah dan Jejak Politik
Masyumi (http://www.gogle.com/search?hl=masyumi)
yang mana menceritakan tentang berdirinya, tujuan dan kiprahnya dalam
pembentukan kabinet pemerintahan masa revolusi fisikseperti diuraikan sebagai berikut :
1. Masyumi
didirikan dalam Kongres Umat Islam Indonesia di Yogyakarta pada tanggal 7-8
November 1945. Kongres ini dihadiri oleh sekitar lima ratus utusan organisasi
sosial keagamaan yang mewakili hampir semua organisasi Islam yang ada, dari
masa sebelum perang serta masa pendudukan Jepang. Kongres memutuskan untuk
medirikan majelis syuro pusat bagi umat Islam Indonesia yang dianggap sebagai
satu-satunya partai politik bagi umat Islam, yang secara resmi bernama Partai
Politik Islam Indonesia “MASYUMI”. Dengan Kongres Umat Islam Indonesia ini,
pembentukan Masyumi bukan merupakan keputusan beberapa tokoh saja, tapi
merupakan keputusan “seluruh umat Islam Indonesia”.
2. Selain mempersatukan umat Islam Indonesia, alasan lain
yang menjadi pertimbangan didirikannya Masyumi adalah agar Islam memiliki
peranan yang signifikan ditengah arus perubahan dan persaingan di Indonesia
saat itu. Tujuan didirikannya Masyumi, sebagaimana
yang terdapat dalam anggaran Dasar Masyumi tahun 1945, memiliki dua tujuan. Pertama,
menegakkan kedaulatan negara republik Indonesia dan agama Islam. Kedua,
melaksanakan cita-cita Islam dalam urusan kenegaraan.
3. Dalam masalah kenegaraan, Masyumi memperjuangkan
terbentuknya negara hukum menurut Islam dengan bentuk Republik. Negara
hendaklah menjamin keselamatan jiwa dan benda tiap orang dan kebebasan bergama.
Masjumi lebih menyukai terbentuknya kabinet presidensial dengan tanggung jawab
kepala negara kepada Dewan Perwakilan Rakyat. DPR sebaiknya terdiri dan dua
badan: dewan berdasar pemilihan umum dengan perwakilan berimbang, dan senat
sebagai wakil daerah yang juga berdasar pemilihan umum. Hak-hak asasi manusia
hendaknya dijamin dalam UUD. Hak-hak politik, sosial, dan ekonomi kaum wanita
sederajat dengan kaum pria.
Mendagri Mohammad Roem adalah konseptor utama UU
Pemilu pertama yang mulai dirumuskan pada masa Kabinet Wilopo (1952-1953),
selain Moh Roem juga dikenal sebagai diplomat ulung, ia menjadi delegasi
Indonesia dalam perundingan dengan Belanda yang dikenal dengan Perjanjian
Roem-Royen. Tokoh lain seperti Syafrudin Prawiranegara merupakan pakar ekonomi
yang juga pernah menjadi Gubernur Bank Indonesia pertama tahun 1950. Beliau
pulalah yang menjadi Pimpinan PDRI (Pimpinan Darurat Republik Indonesia) ketika
Soekarno, Hatta dan beberapa menteri ditawan Belanda.
DAFTAR
PUSTAKA
Anshari, Endang Syaifuddin. 1988.
Pak Natsir 80 Tahun. Jakarta: Media
Dakwah
Arikunto, Suharsimi. 1991. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik.
Jakarta: Gita Pustaka
________________ 2005. Prosedur
Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
Benda, J. 1980. Bulan Sabit dan Matahari. Jakarta:
Pustaka Jaya
Busyairi, Badruzzaman. 1995. Catatan Perjuangan H.M. Yunan Nasution.
Jakarta: Pustaka Panji Mas
Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan. 1998. Pedoman Petunjuk
Penilaian. Jakarta: Depdikbud
Gulo,W. 2002. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta:
Grasindo
Hadi, Sutrisno.
1998. Metode Research. Jogjakarta:
Universitas Gajah Mada
Karim, Rusli. 1985. Perjalanan Partai Politik di Indonesia
Politik Sebuah Potret Pasang Surut. Jakarta: CV Rajawali
Maarif, Ahmad
Syafii. 1985. Islam dan Kenegaraan.
Jakarta: LP3ES
Mudjiono dan Dimyati,
1994. Belajar dan Pembelajaran.
Jakarta:Depdikbud
Majalah. Ishlah. No. / 64 tahun / IV 1996
Nasir, Muhammad. 2003. Metode Diktatik. Jakarta: Bina Aksara
Noer, Deliar. 1987. Partai Islam di Pentas Nasional.
Jakarta: LP3ES
Poerwadarmita. 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka
Riclefs. 1995. Sejarah Indonesia Modern Yogyakarta:
Universitas Gajah Mada
Srawiji, Bambang. 2006.
Kamus Pelajar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Ganeca exact
Suryabrata, Sumadi. 1983. Metode Penelitian. Yogyakarta:
Universitas Gajah Mada
Widyosismoyo, Supartono. 1991. Sejarah Nasional Indonesia dan Dunia.
Jakarta. Intan
No comments:
Post a Comment