Monday, November 18, 2013



 Peranan Teuku Umar dalam Menentang Kolonial Belanda di Aceh Tahun 1873-1899

 1.      Peranan Teuku Umar dalam Menentang Kolonial Belanda di Aceh Tahun 1873-1899
Teuku Umar dilahirkan pada tahun 1854 di Meulaboh, Aceh Barat. Tanggal dan bulan kelahirannya tidak diketahui dengan pasti. Umar mempunyai saudara sebanyak enam orang, empat laki-laki dan dua perempuan. Hal ini sesuai dengan pendapat Dumadi (1983:10) :
Teuku Umar dilahirkan pada tahun 1854 di Meulaboh, Aceh Barat. Tanggal dan bulan kelahirannya tidak diketahui dengan pasti. Ayahnya bernama Achmad Machmud, keturunan bangsawan Minangkabau. Ibunya  adik perempuan Uleebalang Meulaboh. Umar mempunyai saudara sebanyak enam orang, empat laki-laki dan dua perempuan.
http://catansolihin.blogspot.com/
Dari pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa Teuku Umar dilahirkan pada tahun 1854 di Meulaboh, Aceh Barat, tanpa diketahui tanggal dan bulan kelahirannya dengan pasti. Ayah Teuku Umar bernama Achmad Machmud adalah seorang keturunan bangsawan yang berasal dari Minangkabau, sedangkan Ibu Teuku Umar adalah adik dari Uleebalang Meulaboh.
Nenek moyang Umar berasal dari keturunan Minangkabau yaitu Datuk Machudum Sati yang merantau dan menetap di Aceh sekitar abad ke 17, kemudian salah seorang keturunan Datuk Machudum Sati pernah berjasa terhadap Sultan Aceh. Hal ini sesuai dengan pendapat Safwan (2001:43) menyatakan :
Nenek moyang Umar Datuk Machudum Sati berasal dari Minangkabau, yang merantau dan menetap di Aceh pada permulaan abad ke 17. Salah seorang keturunan Datuk Machudum Sati kemudian pernah berjasa terhadap Sultan Aceh, yang pada waktu itu terancam oleh seorang panglima sagi yang ingin merebut kekuasaan. Berkat jasa seorang panglima keturunan orang Minangkabau ini Sultan Aceh terhindar dari bahaya. Orang ini kemudian diangkat menjadi Uleebalang VI Mukim dengan gelar Teuku Nan Rantjeh yang kemudian mempunyai dua orang putera yaitu Nanta Setia dan Machmud. Nanta setia kemudian diangkat menjadi Uleebalang VI Mukim dan Ayah dari Cut Nyak Dien.
Dari pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa nenek moyang Teuku Umar yaitu Datuk Machudum Sati memiliki keturunan dan berjasa terhadap Sultan Aceh, yang pada waktu itu terancam oleh seorang panglima sagi yang ingin merebut kekuasaan. Berkat jasanya itu ia diangkat menjadi Uleebalang VI Mukim dengan gelar Teuku Nan Rantjeh yang kemudian mempunyai dua orang putera yaitu Nanta Setia dan Machmud. Nanta setia kemudian diangkat menjadi Uleebalang VI Mukim dan Ayah dari Cut Nyak Dien.
Ketika permulaan perang Aceh meletus, Teuku Umar ikut serta berjuang bersama pejuang-pejuang Aceh lainnya. Ia segera terjun ke dalam perjuangan bersenjata dan menunjukkan keberanian dan ketangkasannya. Mula-mula ia berjuang di kampungnya sendiri. Menurut Kamajaya (1981:27) menyatakan bahwa :
Waktu perang Aceh meletus pada tahun 1873, Umar berusia 19 tahun. Ia segera terjun ke dalam perjuangan bersenjata dan menunjukkan keberanian dan ketangkasannya. Mula-mula ia berjuang di kampungnya sendiri. Ia menjadi kepala kampung, yaitu Kampung Darat daerah Meulaboh. Daerah pertempurannya meluas sampai Meulaboh sehingga Belanda mengerahkan pasukannya untuk merebut Kampung Darat yang merupakan markas besar Teuku Umar. Pertahanan Umar amat kuat dan tidak mudah Belanda menundukkannya. Baru setelah Kampung Darat dibom dari kapal yang berlabuh di pantai serta sesudah pertempuran di tepi pantai yang amat sengit, Kampung Darat dapat di duduki Belanda pada bulan Februari 1878. Teuku Umar lalu bergerak ke Aceh Barat dan meneruskan perjuangannya di daerah itu.
Dari pendapat di atas dapat  disimpulkan bahwa saat perang Aceh meletus pada tahun 1873, daerah pertempurannya meluas sampai Meulaboh sehingga Belanda mengerahkan pasukannya untuk merebut Kampung Darat yang merupakan markas besar Teuku Umar. Pertahanan Umar amat kuat dan tidak mudah Belanda menundukkannya, setelah Kampung Darat dibom dan  di duduki Belanda kemudian Teuku Umar bergerak ke Aceh Barat dan meneruskan perjuangannya di daerah itu.
Pada akhir tahun 1875 Teuku Umar datang ke VI Mukim dan bertemu dengan pamannya, yakni Nanta Setia. Dalam perang gerilya di Sela Gle Tarum, menantu pamannya, Ibrahim Lamnga, gugur. Umar sempat menyaksikan upacara pemakamannya. Kemudian ia menikahi puteri pamannya yaitu Cut Nyak Dien dan membantu merebut kembali VI Mukim. Hal ini sesuai dengan pendapat Kamajaya (1981:27) yang menyatakan :
Pada akhir 1875 Teuku Umar datang di VI Mukim dan bertemu dengan Uleebalangnya, yakni Nanta Setia. Dia adalah paman Teuku Umar, saudara sekandung ayahnya, Teuku Mahmud. Waktu itu pamannya telah mundur dari daerahnya yang di duduki Belanda. Dalam perang gerilya di Sela Gle Tarum, menantu pamannya Ibrahim Lamnga, gugur. Umar sempat menyaksikan upacara pemakamannya. Kemudian ia membantu pamannya dalam merebut kembali VI Mukim dan berhasil pula. Ia tinggal di sana dan pada tahun 1880 mengawini puteri pamannya, janda Ibrahim Lamnga, yaitu Cut Nyak Din. Selanjutnya Cut Nyak Dien ikut giat dalam perang. Dalam tahun 1882 Umar dibantu isterinya melancarkan serangan terhadap pos-pos Belanda yang berada di Krueng.

Berdasarkan pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pada akhir tahun 1875 Teuku Umar berhasil membantu pamannya dalam merebut kembali VI mukim dan kemudian ia tinggal di sana. Selanjutnya, Cut Nyak Din yang telah menikah dengan Teuku Umar, ikut giat dalam pertempuran dan membantu suaminya melancarkan serangan terhadap pos-pos Belanda yang berada di Krueng.
“Setelah Teuku Umar dapat menguasai VI Mukim.  Pasukan Belanda segera didatangkan ke daerah itu. Tentara Belanda mendatangkan bala bantuan dari Padang. Tentara ini langsung dikirim ke VI Mukim, diperlengkapi dengan tentara yang lebih kuat dan persenjataan yang lebih modern” (Dumadi, 1983:18). Selanjutnya Safwan (2001:55) menyatakan :
Pertempuran segera terjadi antara pasukan Teuku Umar dan pasukan Belanda, di mana dalam pertempuran itu jumlah tentara dan persenjataan Teuku Umar tidak sebanding. Itulah sebabnya Teuku Umar tidak jadi melanjutkan perang dengan tentara Belanda. Pasukannya buat sementara mundur secara teratur masuk daerah pegunungan lewat Ngarai Beradin.
Dari kedua pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa setelah VI Mukim dikuasai Teuku Umar, Tentara Belanda mendatangkan bala bantuan dari Padang. Pertempuran segera terjadi antara pasukan Teuku Umar dan pasukan Belanda dalam keadaan tidak seimbang, Teuku Umar dan pasukannya akhirnya mundur secara teratur masuk daerah pegunungan lewat Ngarai Beradin.
Teuku Umar kemudian mencari strategi untuk mendapatkan senjata dari pihak Belanda. Akhirnya, untuk yang pertama kali pada tahun 1883 Teuku Umar berpura-pura menjadi antek Belanda. Menurut Armand (1990:10) menyatakan :
Teuku Umar menyadari keadaan yang tidak menguntungkan bagi perjuangannya. Dia lalu merubah taktik. Dia membawa pasukannya menyerah kepada Belanda. Tentu saja Belanda menerima penyerahan diri itu dengan gembira. Sementara itu rakyat Aceh sangat terkejut dan kecewa, mereka menuduh Teuku Umar telah berkhianat.
Sedangkan Menurut Kamajaya (1981:28) menyatakan “Adapun Teuku Umar tunduk kepada Belanda dengan perhitungannya yang khas, yaitu untuk dapat merebut senjata dan peralatan perang, Manakala maksud itu sudah dapat dilakukannya, ia lari dengan pasukannya dan kembali berjuang dipihak rakyat”. Dari kedua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa Belanda berdamai dengan Teuku Umar untuk pertama kalinya pada tahun 1883. Teuku Umar berpura-pura bekerjasama dengan Belanda dengan tujuan untuk merebut senjata, uang, serta peralatan perang yang modern agar dapat mengimbangi kekuatan militer Belanda. Setelah  mendapatkan apa yang dimaksud, ia kembali kepada rakyat.
Beberapa bulan setelah penyerahan diri Teuku Umar, sebuah kapal Inggris mengalami musibah. Kapal yang bernama Nisero, kandas di pantai Teunom, Aceh Barat. Menurut Kamajaya (1981:29) menyatakan :
Pada bulan Nopember 1884 kapal Inggris Nisero terdampar di pantai Teunom, Aceh Barat. Raja Teunom, Teuku Imam Muda menawan semua awak kapal dan menyita muatannya. Inggris dan Belanda tidak dapat menyelesaikannya, meskipun mengirim kapal perang Inggris Begagus untuk mengancam raja Teunom. Akhirnya hanya dapat diselesaikan dengan membayar tebusan 100.000 dollar. Itu pun dengan bantuan Teuku Umar yang diminta oleh gupernur Laging Tobias. Waktu itu Umar memang sedang tunduk kepada Belanda, sejak tahun 1883 seperti tersebut di atas. Belanda mengirim Umar dengan 32 orang anak buah Teunom untuk membereskan soal tersebut. Di tengah jalan pendayung sampan yang membawa Teuku Umar dibunuhnya semua. Semua senjata dan amunisi disita dan Teuku Umar lari untuk berbalik kepada perjuangan rakyat.
Dari pendapat di atas dapat  disimpulkan bahwa Pada bulan Nopember 1884 kapal Inggris Nisero terdampar di pantai Teunom, Aceh Barat. Belanda mengirim Umar dengan 32 orang anak buah Teunom untuk membereskan persoalan tersebut. Di tengah jalan pendayung sampan yang membawa Teuku Umar dibunuhnya semua. Semua senjata dan amunisi disita dan Teuku Umar lari untuk berbalik kepada perjuangan rakyat. Kemudian, Teuku Umar kembali ketengah-tengah keluarganya dan berada dipihak Aceh untuk melawan pemerintah Belanda.
“Pada tahun 1891 Teungku Chik Di Tiro dan Teuku Panglima Polim Sudah meninggal dunia. Bersamaan dengan itu terjadi pula pergantian Gubernur Belanda dari Van Teyn kepada penggantinya Deykerhoff“ (Safwan, 2001:62). Selanjutnya Dumadi (1983:25) menyatakan :
Gubernur Deykerhoff yang dipengaruhi oleh asisten residennya bersedia mengampuni Teuku Umar. Bagi Teuku Umar sendiri kesempatan ini tidak disia-siakan. Ia berkeyakinan bahwa perang menghadapi Belanda adalah perang modern. Tentara Aceh harus mempunyai taktik dan senjata modern pula untuk melawan tentara Belanda. Dengan taktik dan senjata modern, barulah tentara Belanda dapat diusir dari Aceh. Rakyat Aceh sudah kehabisan tenaga untuk berperang terus menerus selama 20 tahun. Mereka harus dihimpun dan taktik kuno tidak akan dapat dipergunakan untuk mengalahkan Belanda. Untuk mendapat senjata dari Belanda kita harus pura-pura bekerja sama dengan mereka. Kesempatan yang dibuka oleh Gubernur Deykerhoff harus dipergunakan sebaik-baiknya.
Berdasarkan kedua pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa semenjak Deykerhoff  menggantikan Van Teyn, Teuku Umar mendapat pengampunan dari pemerintah Belanda. Bagi Teuku Umar kesempatan ini tidak akan disia-siakan, menurut pendapat Teuku Umar perang menghadapi Belanda adalah perang modern. Tentara Aceh juga harus mempunyai taktik dan senjata yang modern  barulah tentara Belanda dapat diusir dari Aceh.
Kemudian Teuku Umar dan pasukannya kembali menyerah kepada Belanda.  Hal ini sesuai dengan pendapat Dumadi (1983:26) menyatakan :
Pada tahun 1893 Teuku Umar dengan 250 orang pasukannya menyerah kepada Belanda. Teuku Umar dengan anak buahnya diserahi tugas mengamankan Aceh dari gerombolan pengacau. Pasukan Teuku Umar diberi senjata yang lengkap. Umar diangkat sebagai panglima perang besar dengan gelar Teuku Djohan Pahlawan.
Dari pendapat di atas dapat  disimpulkan bahwa Teuku Umar menyerahkan diri kembali kepada Belanda pada tahun 1893, Teuku Umar dengan 250 orang pasukannya menyerah dan kemudian Teuku Umar dihadiahi gelar Teuku Johan Pahlawan. Pasukan Teuku Umar diberi senjata yang lengkap untuk mengamankan Aceh dari gerombolan pengacau.
Setelah bekerjasama dengan Belanda selama tiga tahun maka pada tanggal 26 Maret 1896 tibalah saat yang dinanti-nantikan, sandiwara Teuku Umar telah berakhir. Hal ini sesuai dengan pendapat Dumadi (1983:27) yang menyatakan bahwa :
Setelah bekerja dengan Belanda selama 3 tahun maka pada tanggal 26 Maret 1896, tibalah saat yang dinanti-nantikan, sandiwara Umar telah berakhir. Ia telah banyak mengenal taktik perang Belanda. Dengan pengalaman yang cukup banyak, Umar kembali keharibaan rakyat Aceh. Pemerintah Belanda sangat terkejut menghadapi peristiwa ini. Tetapi sebaliknya rakyat Aceh tidak kaget atas kejadian itu. Rakyat Aceh percaya kepada Teuku Umar bahwa ia tidak benar-benar bekerja untuk pemerintah Hindia Belanda. Umar dengan sekalian anak buahnya berbalik melawan Belanda. Ia membawa 880 pucuk senjata, 25.000 butir peluru, 500 kg amunisi, 5.000 kg timah, dan uang sebanyak 18.000 dolar. Gubernur Hindia Belanda di Aceh, Deykerhoff ditipu mentah-mentah.
Dari pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pada tanggal 26 Maret 1896, Teuku Umar dengan sekalian anak buahnya berbalik melawan Belanda dan kembali keharibaan rakyat Aceh. Ia membawa 880 pucuk senjata, 25.000 butir peluru, 500 kg amunisi, 5.000 kg timah, dan uang sebanyak 18.000 dolar. Pemerintah Belanda sangat terkejut menghadapi peristiwa ini. Gubernur Hindia Belanda di Aceh, Deykerhoff ditipu mentah-mentah.
“Selanjutnya, Gubernur Deykerhoff diberhentikan dan digantikan oleh Jenderal Vetter. Terhadap Teuku Umar, Belanda mengeluarkan ultimatum agar menyerah. Teuku Umar dipecat oleh Belanda sebagai panglima besar perang Aceh, dan diperintahkan untuk menyerahkan kembali senjata dan perlengkapan yang dibawa lari” (Safwan, 2001:71). Dari pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa setelah Jenderal Vetter  menjabat sebagai Gubernur ia mengeluarkan ultimatum agar Teuku Umar segera menyerah dan menyerahkan perlengkapan perang yang di bawa lari oleh Teuku Umar. Kemudian Dumadi (1983:27) menyatakan :
Seluruh komando Perang Aceh mulai tahun 1896 ini berada di bawah perintah Teuku Umar. Ia dibantu isterinya Tjut Nja Dien dan panglimanya yang terkenal Pang Laot. Umar juga mengajak Uleebalang yang lain untuk ikut memerangi Belanda. Barulah pertama kali dalam sejarah Perang Aceh, tentara Aceh dipegang oleh satu komando, yaitu di bawah komando Teuku Umar.
Berdasarkan pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa seluruh komando perang Aceh mulai tahun 1896 berada di bawah pimpinan Teuku Umar. la dibantu oleh istrinya Cut Nyak Dhien dan Panglima Pang Laot. Pertama kali dalam sejarah perang Aceh, tentara Aceh dipegang oleh satu komando. Selanjutnya Teuku Umar juga mengajak Uleebalang yang lain untuk ikut memerangi tentara Belanda
Setelah kejadian itu pihak Belanda melakukan pengejaran terhadap Teuku Umar tanpa henti, sesuai dengan teori Snouch Horgronye yang diuraikan Safwan (2001:78) “pukul dan kejar musuh terus-menerus, jangan beri mereka istirahat sedikitpun”. Kemudian terjadilah pertempuran-pertempuran antara tentara Aceh dan tentara Belanda. Dari pendapat di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa setelah Teuku Umar kembali memihak rakyat Aceh, pihak Belanda melakukan pengejaran terhadap Teuku Umar, hal ini sesuai dengan teori Snouch Horgronye yang mengemukakan bahwa pihak Belanda harus terus menerus mengejar tentara Aceh tanpa henti. Terjadilah pertempuran-pertempuran yang sengit, Teuku Umar mengadakan perlawanan dengan gigih, walaupun satu demi satu benteng Teuku Umar jatuh ke tangan musuh.
Februari 1899, pihak Belanda mendapat laporan dari mata-matanya mengenai kedatangan Teuku Umar di Meulaboh, dan segera mengatur siasat untuk mencegat Teuku Umar. Hal ini sesuai dengan pendapat Armand (1990:30) yang menyatakan bahwa :
Melalui mata-mata kemudian pihak Belanda dapat mengetahui persembunyian Teuku Umar. Pasukan Teuku Umar sampai di pinggiran Meulaboh pada malam tanggal 10 Februari 1899. Mereka tidak tahu, bahwa mereka masuk ke dalam jebakan yang sudah dipasang musuh. Tiba-tiba pasukan Belanda menyerang dengan gencar. Pertempuran sengit segera terjadi. Dan dalam pertempuran ini Teuku Umar kena tembak dan tewas pada tanggal 11 Februari 1899. Jenazahnya diselamatkan oleh panglimanya yang setia, yaitu Pang Laot, Teuku Umar di makamkan di kampung Mugo dengan upacara yang sederhana. Setelah kematian Teuku Umar, Cut Nyak Dien bersama Pang Laot melanjutkan perlawanan terhadap Belanda
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa setelah pasukan Belanda mengetahui keberadaan pasukan Teuku Umar melalui mata-mata, pasukan Belanda segera melakukan penyerangan secara tiba-tiba. Malam tanggal 10 Februari 1899 Teuku Umar bersama pasukannya tiba di pinggiran kota Meulaboh. Pertempuran sengit segera terjadi, dalam pertempuran itu pada tanggal 11 Februari 1899, Teuku Umar gugur terkena peluru musuh yang menembus dadanya. Jenazahnya diselamatkan oleh panglimanya yang setia, yaitu Pang Laot, Teuku Umar di makamkan di kampung Mugo dengan upacara yang sederhana. Selanjutnya  Cut Nyak Dien mengisi kekosongan kepemimpinan setelah kematian Teuku Umar. Cut Nyak Dien bersama Pang Laot melanjutkan perlawanan terhadap Belanda.

No comments:

Post a Comment