Peranan
Teuku Umar dalam Menentang Kolonial Belanda di Aceh Tahun 1873-1899
1.
Peranan
Teuku Umar dalam Menentang Kolonial Belanda di Aceh Tahun 1873-1899
Teuku
Umar dilahirkan pada tahun 1854 di Meulaboh, Aceh Barat. Tanggal dan bulan
kelahirannya tidak diketahui dengan pasti. Umar mempunyai saudara sebanyak enam
orang, empat laki-laki dan dua perempuan. Hal ini sesuai dengan pendapat Dumadi
(1983:10) :
Teuku Umar dilahirkan pada tahun 1854 di
Meulaboh, Aceh Barat. Tanggal dan bulan kelahirannya tidak diketahui dengan
pasti. Ayahnya bernama Achmad Machmud, keturunan bangsawan Minangkabau.
Ibunya adik perempuan Uleebalang
Meulaboh. Umar mempunyai saudara sebanyak enam orang, empat laki-laki dan dua
perempuan.
http://catansolihin.blogspot.com/
Dari
pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa Teuku Umar dilahirkan pada
tahun 1854 di Meulaboh, Aceh Barat, tanpa diketahui tanggal dan bulan
kelahirannya dengan pasti. Ayah Teuku Umar bernama Achmad Machmud adalah
seorang keturunan bangsawan yang berasal dari Minangkabau, sedangkan Ibu Teuku
Umar adalah adik dari Uleebalang Meulaboh.
Nenek
moyang Umar berasal dari keturunan Minangkabau yaitu Datuk Machudum Sati yang
merantau dan menetap di Aceh sekitar abad ke 17, kemudian salah seorang
keturunan Datuk Machudum Sati pernah berjasa terhadap Sultan Aceh. Hal ini
sesuai dengan pendapat Safwan (2001:43) menyatakan :
Nenek moyang Umar Datuk Machudum Sati
berasal dari Minangkabau, yang merantau
dan menetap di Aceh pada permulaan abad ke 17. Salah
seorang keturunan Datuk Machudum Sati kemudian pernah berjasa terhadap Sultan
Aceh, yang pada waktu itu terancam oleh seorang panglima sagi yang ingin
merebut kekuasaan. Berkat jasa seorang panglima keturunan orang Minangkabau ini
Sultan Aceh terhindar dari bahaya. Orang ini kemudian diangkat menjadi
Uleebalang VI Mukim dengan gelar Teuku Nan Rantjeh yang kemudian mempunyai dua
orang putera yaitu Nanta Setia dan Machmud. Nanta setia kemudian diangkat
menjadi Uleebalang VI Mukim dan Ayah dari Cut Nyak Dien.
Dari
pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa nenek moyang Teuku Umar yaitu
Datuk Machudum Sati memiliki keturunan dan berjasa terhadap Sultan Aceh, yang
pada waktu itu terancam oleh seorang panglima sagi yang ingin merebut kekuasaan.
Berkat jasanya itu ia diangkat menjadi Uleebalang VI Mukim dengan gelar Teuku
Nan Rantjeh yang kemudian mempunyai dua orang putera yaitu Nanta Setia dan
Machmud. Nanta setia kemudian diangkat menjadi Uleebalang VI Mukim dan Ayah
dari Cut Nyak Dien.
Ketika
permulaan perang Aceh meletus, Teuku Umar ikut serta berjuang bersama
pejuang-pejuang Aceh lainnya. Ia segera terjun ke dalam perjuangan bersenjata
dan menunjukkan keberanian dan ketangkasannya. Mula-mula ia berjuang di
kampungnya sendiri. Menurut Kamajaya (1981:27) menyatakan bahwa :
Waktu
perang Aceh meletus pada tahun 1873, Umar berusia 19 tahun. Ia segera terjun ke
dalam perjuangan bersenjata dan menunjukkan keberanian dan ketangkasannya.
Mula-mula ia berjuang di kampungnya sendiri. Ia menjadi kepala kampung, yaitu
Kampung Darat daerah Meulaboh. Daerah pertempurannya meluas sampai Meulaboh
sehingga Belanda mengerahkan pasukannya untuk merebut Kampung Darat yang
merupakan markas besar Teuku Umar. Pertahanan Umar amat kuat dan tidak mudah
Belanda menundukkannya. Baru setelah Kampung Darat dibom dari kapal yang
berlabuh di pantai serta sesudah pertempuran di tepi pantai yang amat sengit,
Kampung Darat dapat di duduki Belanda pada bulan Februari 1878. Teuku Umar lalu
bergerak ke Aceh Barat dan meneruskan perjuangannya di daerah itu.
Dari
pendapat di atas dapat disimpulkan
bahwa saat perang Aceh meletus pada tahun 1873, daerah pertempurannya meluas
sampai Meulaboh sehingga Belanda mengerahkan pasukannya untuk merebut Kampung
Darat yang merupakan markas besar Teuku Umar. Pertahanan Umar amat kuat dan
tidak mudah Belanda menundukkannya, setelah Kampung Darat dibom dan di duduki Belanda kemudian Teuku Umar bergerak
ke Aceh Barat dan meneruskan perjuangannya di daerah itu.
Pada akhir tahun 1875 Teuku Umar datang ke VI Mukim
dan bertemu dengan pamannya, yakni Nanta Setia. Dalam perang gerilya di Sela
Gle Tarum, menantu pamannya, Ibrahim Lamnga, gugur. Umar sempat menyaksikan
upacara pemakamannya. Kemudian ia menikahi puteri pamannya yaitu Cut Nyak Dien
dan membantu merebut kembali VI Mukim. Hal ini sesuai dengan pendapat Kamajaya
(1981:27) yang menyatakan :
Pada
akhir 1875 Teuku Umar datang di VI Mukim dan bertemu dengan Uleebalangnya,
yakni Nanta Setia. Dia adalah paman Teuku Umar, saudara sekandung ayahnya,
Teuku Mahmud. Waktu itu pamannya telah mundur dari daerahnya yang di duduki
Belanda. Dalam perang gerilya di Sela Gle Tarum, menantu pamannya Ibrahim
Lamnga, gugur. Umar sempat menyaksikan upacara pemakamannya. Kemudian ia
membantu pamannya dalam merebut kembali VI Mukim dan berhasil pula. Ia tinggal
di sana dan pada tahun 1880 mengawini puteri pamannya, janda Ibrahim Lamnga,
yaitu Cut Nyak Din. Selanjutnya Cut Nyak Dien ikut giat dalam perang. Dalam
tahun 1882 Umar dibantu isterinya melancarkan serangan terhadap pos-pos Belanda
yang berada di Krueng.
Berdasarkan
pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pada akhir tahun 1875 Teuku
Umar berhasil membantu pamannya dalam merebut kembali VI mukim dan kemudian ia
tinggal di sana. Selanjutnya, Cut Nyak Din yang telah menikah dengan Teuku
Umar, ikut giat dalam pertempuran dan membantu suaminya melancarkan serangan
terhadap pos-pos Belanda yang berada di Krueng.
“Setelah Teuku Umar dapat menguasai VI Mukim. Pasukan Belanda segera didatangkan ke daerah
itu. Tentara Belanda mendatangkan bala bantuan dari Padang. Tentara ini
langsung dikirim ke VI Mukim, diperlengkapi dengan tentara yang lebih kuat dan
persenjataan yang lebih modern” (Dumadi, 1983:18). Selanjutnya Safwan (2001:55)
menyatakan :
Pertempuran
segera terjadi antara pasukan Teuku Umar dan pasukan Belanda, di mana dalam
pertempuran itu jumlah tentara dan persenjataan Teuku Umar tidak sebanding. Itulah
sebabnya Teuku Umar tidak jadi melanjutkan perang dengan tentara Belanda. Pasukannya
buat sementara mundur secara teratur masuk daerah pegunungan lewat Ngarai
Beradin.
Dari
kedua pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa setelah VI Mukim dikuasai
Teuku Umar, Tentara Belanda mendatangkan bala bantuan dari Padang. Pertempuran
segera terjadi antara pasukan Teuku Umar dan pasukan Belanda dalam keadaan
tidak seimbang, Teuku Umar dan pasukannya akhirnya mundur secara teratur masuk
daerah pegunungan lewat Ngarai Beradin.
Teuku
Umar kemudian mencari strategi untuk mendapatkan senjata dari pihak Belanda.
Akhirnya, untuk yang pertama kali pada tahun 1883 Teuku Umar berpura-pura
menjadi antek Belanda. Menurut
Armand (1990:10) menyatakan :
Teuku Umar menyadari keadaan yang tidak
menguntungkan bagi perjuangannya. Dia lalu merubah taktik. Dia membawa
pasukannya menyerah kepada Belanda. Tentu saja Belanda menerima penyerahan diri
itu dengan gembira. Sementara itu rakyat Aceh sangat terkejut dan kecewa, mereka
menuduh Teuku Umar telah berkhianat.
Sedangkan
Menurut Kamajaya (1981:28) menyatakan “Adapun Teuku Umar tunduk kepada Belanda
dengan perhitungannya yang khas, yaitu untuk dapat merebut senjata dan
peralatan perang, Manakala maksud itu sudah dapat dilakukannya, ia lari dengan
pasukannya dan kembali berjuang dipihak rakyat”. Dari kedua pendapat di atas dapat disimpulkan
bahwa Belanda berdamai dengan Teuku Umar untuk pertama kalinya pada tahun 1883. Teuku Umar berpura-pura bekerjasama
dengan Belanda dengan tujuan untuk merebut senjata, uang, serta peralatan
perang yang modern agar dapat mengimbangi kekuatan militer Belanda.
Setelah mendapatkan apa yang dimaksud,
ia kembali kepada rakyat.
Beberapa bulan setelah
penyerahan diri Teuku Umar, sebuah kapal Inggris mengalami musibah. Kapal yang
bernama Nisero, kandas di pantai
Teunom, Aceh Barat. Menurut Kamajaya (1981:29) menyatakan :
Pada
bulan Nopember 1884 kapal Inggris Nisero terdampar di pantai Teunom,
Aceh Barat. Raja Teunom, Teuku Imam Muda menawan semua awak kapal dan menyita
muatannya. Inggris dan Belanda tidak dapat menyelesaikannya, meskipun mengirim
kapal perang Inggris Begagus untuk mengancam raja Teunom. Akhirnya hanya
dapat diselesaikan dengan membayar tebusan 100.000 dollar. Itu pun dengan
bantuan Teuku Umar yang diminta oleh gupernur Laging Tobias. Waktu itu Umar
memang sedang tunduk kepada Belanda, sejak tahun 1883 seperti tersebut di atas.
Belanda mengirim Umar dengan 32 orang anak buah Teunom untuk membereskan soal
tersebut. Di tengah jalan pendayung sampan yang membawa Teuku Umar dibunuhnya
semua. Semua senjata dan amunisi disita dan Teuku Umar lari untuk berbalik
kepada perjuangan rakyat.
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa Pada bulan Nopember 1884
kapal Inggris Nisero terdampar di pantai Teunom, Aceh Barat. Belanda
mengirim Umar dengan 32 orang anak buah Teunom untuk membereskan persoalan
tersebut. Di tengah jalan pendayung sampan yang membawa Teuku Umar dibunuhnya
semua. Semua senjata dan amunisi disita dan Teuku Umar lari untuk berbalik
kepada perjuangan rakyat. Kemudian, Teuku Umar kembali ketengah-tengah
keluarganya dan berada dipihak Aceh untuk melawan pemerintah Belanda.
“Pada tahun 1891 Teungku Chik Di Tiro dan Teuku
Panglima Polim Sudah meninggal dunia. Bersamaan dengan itu terjadi pula
pergantian Gubernur Belanda dari Van Teyn kepada penggantinya Deykerhoff“ (Safwan,
2001:62). Selanjutnya Dumadi (1983:25) menyatakan :
Gubernur
Deykerhoff yang dipengaruhi oleh asisten residennya bersedia mengampuni Teuku
Umar. Bagi Teuku Umar sendiri kesempatan ini tidak disia-siakan. Ia
berkeyakinan bahwa perang menghadapi Belanda adalah perang modern. Tentara Aceh
harus mempunyai taktik dan senjata modern pula untuk melawan tentara Belanda.
Dengan taktik dan senjata modern, barulah tentara Belanda dapat diusir dari
Aceh. Rakyat Aceh sudah kehabisan tenaga untuk berperang terus menerus selama
20 tahun. Mereka harus dihimpun dan taktik kuno tidak akan dapat dipergunakan
untuk mengalahkan Belanda. Untuk mendapat senjata dari Belanda kita harus
pura-pura bekerja sama dengan mereka. Kesempatan yang dibuka oleh Gubernur Deykerhoff
harus dipergunakan sebaik-baiknya.
Berdasarkan kedua pendapat di atas dapat
ditarik kesimpulan bahwa semenjak Deykerhoff
menggantikan Van Teyn, Teuku Umar mendapat pengampunan dari pemerintah
Belanda. Bagi Teuku Umar kesempatan ini tidak akan disia-siakan, menurut
pendapat Teuku Umar perang menghadapi Belanda adalah perang modern. Tentara
Aceh juga harus mempunyai taktik dan senjata yang modern barulah tentara Belanda dapat diusir dari
Aceh.
Kemudian Teuku Umar dan pasukannya
kembali menyerah kepada Belanda. Hal ini
sesuai dengan pendapat Dumadi (1983:26) menyatakan :
Pada
tahun 1893 Teuku Umar dengan 250 orang pasukannya menyerah kepada Belanda.
Teuku Umar dengan anak buahnya diserahi tugas mengamankan Aceh dari gerombolan
pengacau. Pasukan Teuku Umar diberi senjata yang lengkap. Umar diangkat sebagai
panglima perang besar dengan gelar Teuku Djohan Pahlawan.
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa Teuku Umar menyerahkan diri
kembali kepada Belanda pada tahun 1893, Teuku Umar dengan 250 orang pasukannya menyerah
dan kemudian Teuku Umar dihadiahi gelar Teuku Johan Pahlawan. Pasukan Teuku
Umar diberi senjata yang lengkap untuk mengamankan Aceh dari gerombolan
pengacau.
Setelah
bekerjasama dengan Belanda selama tiga tahun maka pada tanggal 26 Maret 1896
tibalah saat yang dinanti-nantikan, sandiwara Teuku Umar telah berakhir. Hal
ini sesuai dengan pendapat Dumadi (1983:27) yang menyatakan bahwa :
Setelah
bekerja dengan Belanda selama 3 tahun maka pada tanggal 26 Maret 1896, tibalah
saat yang dinanti-nantikan, sandiwara Umar telah berakhir. Ia telah banyak
mengenal taktik perang Belanda. Dengan pengalaman yang cukup banyak, Umar kembali
keharibaan rakyat Aceh. Pemerintah Belanda sangat terkejut menghadapi peristiwa
ini. Tetapi sebaliknya rakyat Aceh tidak kaget atas kejadian itu. Rakyat Aceh
percaya kepada Teuku Umar bahwa ia tidak benar-benar bekerja untuk pemerintah
Hindia Belanda. Umar dengan sekalian anak buahnya berbalik melawan Belanda. Ia
membawa 880 pucuk senjata, 25.000 butir peluru, 500 kg amunisi, 5.000 kg timah,
dan uang sebanyak 18.000 dolar. Gubernur Hindia Belanda di Aceh, Deykerhoff
ditipu mentah-mentah.
Dari
pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pada tanggal 26 Maret 1896,
Teuku Umar dengan sekalian anak buahnya berbalik melawan Belanda dan kembali
keharibaan rakyat Aceh. Ia membawa 880 pucuk senjata, 25.000 butir peluru, 500
kg amunisi, 5.000 kg timah, dan uang sebanyak 18.000 dolar. Pemerintah Belanda
sangat terkejut menghadapi peristiwa ini. Gubernur Hindia Belanda di Aceh,
Deykerhoff ditipu mentah-mentah.
“Selanjutnya,
Gubernur Deykerhoff diberhentikan dan digantikan oleh Jenderal Vetter. Terhadap
Teuku Umar, Belanda mengeluarkan ultimatum agar menyerah. Teuku Umar dipecat
oleh Belanda sebagai panglima besar perang Aceh, dan diperintahkan untuk
menyerahkan kembali senjata dan perlengkapan yang dibawa lari” (Safwan,
2001:71). Dari pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa setelah Jenderal
Vetter menjabat sebagai Gubernur ia
mengeluarkan ultimatum agar Teuku Umar segera menyerah dan menyerahkan
perlengkapan perang yang di bawa lari oleh Teuku Umar. Kemudian Dumadi
(1983:27) menyatakan :
Seluruh
komando Perang Aceh mulai tahun 1896 ini berada di bawah perintah Teuku Umar.
Ia dibantu isterinya Tjut Nja Dien dan panglimanya yang terkenal Pang Laot.
Umar juga mengajak Uleebalang yang lain untuk ikut memerangi Belanda. Barulah
pertama kali dalam sejarah Perang Aceh, tentara Aceh dipegang oleh satu komando,
yaitu di bawah komando Teuku Umar.
Berdasarkan pendapat di atas dapat ditarik
kesimpulan bahwa seluruh komando perang Aceh mulai tahun 1896 berada di bawah
pimpinan Teuku Umar. la dibantu oleh istrinya Cut Nyak Dhien dan Panglima Pang
Laot. Pertama kali dalam sejarah perang Aceh, tentara Aceh dipegang oleh satu
komando. Selanjutnya Teuku Umar juga mengajak Uleebalang yang lain untuk ikut
memerangi tentara Belanda
Setelah
kejadian itu pihak Belanda melakukan pengejaran terhadap Teuku Umar tanpa
henti, sesuai dengan teori Snouch Horgronye yang diuraikan Safwan (2001:78) “pukul
dan kejar musuh terus-menerus, jangan beri mereka istirahat sedikitpun”. Kemudian
terjadilah pertempuran-pertempuran antara tentara Aceh dan tentara Belanda.
Dari pendapat di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa setelah Teuku Umar
kembali memihak rakyat Aceh, pihak Belanda melakukan pengejaran terhadap Teuku
Umar, hal ini sesuai dengan teori Snouch Horgronye yang mengemukakan bahwa
pihak Belanda harus terus menerus mengejar tentara Aceh tanpa henti. Terjadilah
pertempuran-pertempuran yang sengit, Teuku Umar mengadakan perlawanan dengan
gigih, walaupun satu demi satu benteng Teuku Umar jatuh ke tangan musuh.
Februari
1899, pihak Belanda mendapat laporan dari mata-matanya mengenai kedatangan
Teuku Umar di Meulaboh, dan segera mengatur siasat untuk mencegat Teuku Umar.
Hal ini sesuai dengan pendapat Armand (1990:30) yang menyatakan bahwa :
Melalui mata-mata kemudian pihak Belanda
dapat mengetahui persembunyian Teuku Umar. Pasukan Teuku Umar sampai di
pinggiran Meulaboh pada malam tanggal 10 Februari 1899. Mereka tidak tahu,
bahwa mereka masuk ke dalam jebakan yang sudah dipasang musuh. Tiba-tiba
pasukan Belanda menyerang dengan gencar. Pertempuran sengit segera terjadi. Dan
dalam pertempuran ini Teuku Umar kena tembak dan tewas pada tanggal 11 Februari
1899. Jenazahnya diselamatkan oleh panglimanya yang setia, yaitu Pang Laot,
Teuku Umar di makamkan di kampung Mugo dengan upacara yang sederhana. Setelah
kematian Teuku Umar, Cut Nyak Dien bersama Pang Laot melanjutkan perlawanan
terhadap Belanda
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
setelah pasukan Belanda mengetahui keberadaan pasukan Teuku Umar melalui
mata-mata, pasukan Belanda segera melakukan penyerangan secara tiba-tiba. Malam
tanggal 10 Februari 1899 Teuku Umar bersama pasukannya tiba di pinggiran kota
Meulaboh. Pertempuran sengit segera terjadi, dalam pertempuran itu pada tanggal
11 Februari 1899, Teuku Umar gugur terkena peluru musuh yang menembus dadanya.
Jenazahnya diselamatkan oleh panglimanya yang setia, yaitu Pang Laot, Teuku
Umar di makamkan di kampung Mugo dengan upacara yang sederhana.
Selanjutnya Cut Nyak Dien mengisi
kekosongan kepemimpinan setelah kematian Teuku Umar. Cut Nyak Dien bersama Pang
Laot melanjutkan perlawanan terhadap Belanda.
No comments:
Post a Comment