Tuesday, November 19, 2013




PERANAN PRABU JAYABAYA DALAM MEMAJUKAN KERAJAAN KEDIRI DI BIDANG POLITIK DAN EKONOMI PADA TAHUN 1135-1157 M




Bidang Politik
Prabu Jayabaya adalah seorang tokoh sejarah, tokoh mistik, tokoh mitos, sekaligus tokoh legenda. Beliau dikenal di dalam sejarah sebagai raja yang bergelar Sang Mapanji Jayabaya Sri Darmaiswara Madusudana Wartanindita, raja di Mamenang. Beliau adalah putra mahkota raja Airlangga di kahuripan. Prabu Jayabaya adalah seorang sastrawan dan budayawan yang memerintahkan penulisan kitab Bharatayuda oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh. Hal ini sejalan dengan keterangan Marwati Djoenet Poesponegoro Nugroho Notosusanto (1990:257) sebagai berikut:

Hal ini dibuktikan dengan Prasasti Ngantang yang berisi tulisan Pangjalu Jayati (berarti Kediri menang). Kemenangan Kerajaan Kediri dalam perluasan wilayah mengilhami Pujangga Empu Sedah dan Empu Panulu untuk menulis kitab Bharatayudha. Perang Bharatayudha merupakan perang saudara antara Pendawa dan Kurawa. Perang tersebut menjadi inspirasi isi kitab Bharatayudha yang menceritakan perang saudara antara Kerajaan Kediri dan Kerajaan Jenggala.

Berdasarkan keterangan di atas dapat diambil pengertian bahwa dengan adanya perluasan wilayah tersebut maka Mpu Sedah dan Mpu Panulu dapat menulis kitab Bharatayudha yang isi nya tentang perang saudara antara Kerajaan Kediri dan Kerajaan Jenggala. Oleh karena itu, di bawah pemerintahan Prabu Jayabaya Kerajaan Kediri dan Kerajaan Jenggala berhasil di persatukan lagi.
Prabu Jayabaya merupakan raja yang adil dan bijaksana di dalam memimpin Kerajaan Kediri, hukum benar-benar ditegakkan di Kerajaan tersebut. Tidak ada orang dikenakan hukuman badan (artinya hukum kurungan), sehingga tidak diperlukan rumah penjara, yang ada hanyalah hukum denda. Mereka yang bersalah harus membayar denda yang telah ditentukan besarnya, bagi pencuri ataupun penyamun hukumannya tidak lain hukuman mati.
Di dalam Legenda, Prabu Jayabaya pada akhir hayatnya moksa (meninggalkan dunia dengan jasadnya) di desa Menang daerah Kediri. Meskipun tidak ada bukti yang meyakinkan, namun banyak orang yang mempercayainya bahkan di desa itu telah didirikan Monumen oleh yayasan Hondodento. Tiap pergantian tahun pada tanggal 1 sura diadakan ziarah.
Prabu Jayabaya dimitoskan sebagai tokoh bhatara wisnu, oleh karena itu weruh sadurunge winarah ( tahu sebelum diberitahu ). Prabu Jayabaya yang bergelar Sang Mapanji Jayabaya Sri Dharmaishwara Madus Sudana Wartanindhita memang melebihi raja-raja yang lain. Selain dia dapat mengatur ketatanegaraan/pemerintahan dengan sebaik-baiknya, juga oleh sebagian orang dianggap masih titisan Bhatara Wisnu yang terakhir. Lebih-lebih karena wajahnya yang tampan disertai kepandaiannya dalam berbagai hal untuk menambah ketenaran sang prabu.

Bidang Ekonomi
Pada masa pemerintahan Prabu Jayabaya (1135-1157 M), Kerajaan Kediri mencapai puncak kejayaan. Saudagar Cina bernama Kho Ku Fei pada tahun 1200 M, mencatat bahwa Kerajan Kediri merupakan Negara yang teratur serta telah memiliki mata uang emas dan aturan pajak yang baik.
Kerajaan Kediri menjadi terkenal bukan saja hubungan didalam negeri tetapi juga hubungan dengan luar negeri. Hal ini sejalan dengan keterangan Andjar Any (1984:45) sebagai berikut:
Hubungan dengan luar negeri sudah sangat maju bahkan catatan Tionghoa memberitakan bahwa diwaktu itu ada suatu Kerajaan besar di Pulau Jawa yang bernama Kediri dengan rajanya bernama Jayabaya. Dikisahkan bahwa penduduk Kediri mempunyai adat rambutnya dibiarkan terurai, memakai kain sampai kebawah lutut bertempat tinggal dirumah yang cukup bagus. Laintainya terbuat dari batu ubin berwarna-warni ada yang hijau, kuning, dan lain-lainnya. Sedangkan raja rambutnya tidak diurai tetapi disanggul memakai pakaian terbuat dari sutera alam. Kakinya memakai terompah (sepatu) terbuat dari kulit binatang.

Berdasarkan keterangan diatas dapat diambil pengertian bahwa menurut catatan Tionghoa sudah ada Kerajaan besar di Pulau Jawa yaitu Kediri dengan rajanya bernama Prabu Jayabaya. Di negara tersebut sudah ada gedung tempat pertemuan dengan para saudagar, semacam gedung niaga atau kamar dagang. Disitulah para pedagang asing bertemu dengan pedagang pribumi. Orang-orang Negara tetangga datang dengan membawa barang-barangnya dan mengambil barang-barang dari hasil pribumi Kediri. Pasar-pasar ramai, lebih-lebih pasar di pelabuhan besar yakni di Canggu tempat barang-barang dan hasil bumi dari seluruh Kepulauan Indonesia sebelah timur terkumpul. Produksi Kerajaan Kediri waktu itu tercatat oleh Musafir Tionghoa antara lain berupa padi, karang-karang, tebu, keladi, pisang, papaya, kelapa, kulit manis kayu cendana, lada dan lain-lainnya. Sedangkan hewan ternak yang dipelihara berupa ayam, itik, kambing, lembu, ikan, dan penyu. Peternakan penyu yang dijaman sekarang ini agaknya kurang mendapatkan perhatian waktu itu sudah merupakan home industri.
Disamping hasil-hasil tersebut Kediri dibawah Prabu Jayabaya juga mempunyai hasil lainnya seperti: emas perak, gading, colak badak, kapas dan sutera. Suatu hasil yang mempunyai daya jual yang kuat diwaktu itu, agaknya home industri sutera alam dengan memelihara ulat sutera serta penanaman pohon murbei sudah berkembang diwaktu itu.
Pajak dagang juga sudah ada, sehingga dengan ramainya perdagangan tersebut pendapatan pemerintah juga besar. Hal ini sejalan dengan keterangan Wojowasito (TT:36) sebagai berikut:
Menurut catatan keropak Tionghoa itu besarnya pajak sekitar sepersepuluh dari hasil jual. Sebagai sarana tukar sudah ada uang yang terdiri dari uang daun perak dan uang kuningan. Sayang sekali bahwa keropak tersebut tidak menyebut bentuk serta nilai tukarnya dari kedua mata uang tadi. Karena perdagangan maju maka terciptalah kemakmuran. Terutama bagi para bangsawannya, bahkan waktu itu dinyatakan hanya ada tiga Negara terkaya didunia, satu Kerajaan Kholifah ditanah Arab, kedua Negara di Pulau Jawa (Kediri) dan ketiga Negara Sriwijaya.

Berdasarkan keterangan diatas dapat diambil pengertian bahwa menurut catatan keropak Tionghoa besarnya pajak yang diberlakukan di Kerajaan Kediri pada waktu itu sekitar sepersepuluh dari hasil jual.
Pertanian amat maju karena selain tanahnya yang memang subur juga disebabkan negara tidak dalam keadaan perang sehingga raja nya dapat mencurahkan perhatiannya kepada pembangunan tanggul-tanggul, sungai dan perbaikan pengairan.


Kerajaan Kediri
            Prabu Airlangga dari Kerajaan Kahuripan membagi negaranya menjadi 2 bagian dengan maksud suci agar terjalin kerukunan antara keturunannya. Garis perbatasan dibuat oleh kekuatan gaib Empu Barada, namun belum sampai kepada generasi cucu dan buyut, baru berselang beberapa tahun setelah raja Airlangga yang nama lengkapnya: Sri Maharaja Rake Halu Sri Lakeswara Darmawangsa Airlangga Ananta Wikramatungga Dewa meninggal dunia, peperanganpun berkobar kedua negara itu yang satu dinamakan Doho atau Kediri, sedangkan yang kedua dinamakan Panjalu atau Jenggala.
Setelah Prabu Airlangga meninggal selang beberapa tahun pecahlah perang saudara antara kedua negara tersebut, mereka tidak mempersoalkan batas Kerajaan mereka tetapi yang mereka persoalkan ingin menguasai seluruh bekas Kerajaan Medang Kahuripan, akhirnya peperangan itupun menghasilkan buah bahwa negara yang besar hanya ada satu ialah Kediri.
Kerajaan Kediri, yaitu Kerajaan yang terletak di Jawa Timur yang berada di daerah sekitar Lembah Sungai Brantas dan beribu kota di Daha, Kerajaan Kediri pada waktu itu merupakan Kerajaan yang sangat jaya sekali dalam memimpin bumi Jawa Dwipa ke puncak zaman keemasan.

No comments:

Post a Comment