PERANAN
PRABU JAYABAYA DALAM MEMAJUKAN KERAJAAN KEDIRI DI BIDANG POLITIK DAN EKONOMI
PADA TAHUN 1135-1157 M
Bidang Politik
Prabu Jayabaya adalah seorang
tokoh sejarah, tokoh mistik, tokoh mitos, sekaligus tokoh legenda. Beliau
dikenal di dalam sejarah sebagai raja yang bergelar Sang Mapanji Jayabaya Sri Darmaiswara Madusudana Wartanindita, raja
di Mamenang. Beliau adalah putra mahkota raja Airlangga di kahuripan. Prabu
Jayabaya adalah seorang sastrawan dan budayawan yang memerintahkan penulisan
kitab Bharatayuda oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh. Hal
ini sejalan dengan keterangan Marwati Djoenet Poesponegoro Nugroho Notosusanto
(1990:257) sebagai berikut:
Hal ini dibuktikan dengan Prasasti Ngantang yang berisi tulisan
Pangjalu Jayati (berarti Kediri menang).
Kemenangan Kerajaan Kediri dalam perluasan wilayah mengilhami Pujangga Empu
Sedah dan Empu Panulu untuk menulis kitab Bharatayudha. Perang Bharatayudha
merupakan perang saudara antara Pendawa dan Kurawa. Perang tersebut menjadi
inspirasi isi kitab Bharatayudha yang menceritakan perang saudara antara
Kerajaan Kediri
dan Kerajaan Jenggala.
Berdasarkan keterangan di atas dapat diambil pengertian
bahwa dengan adanya perluasan wilayah tersebut maka Mpu Sedah dan Mpu Panulu
dapat menulis kitab Bharatayudha yang isi nya tentang perang saudara antara
Kerajaan Kediri
dan Kerajaan Jenggala. Oleh karena itu, di bawah pemerintahan Prabu Jayabaya
Kerajaan Kediri dan Kerajaan Jenggala berhasil di persatukan lagi.
Prabu Jayabaya merupakan raja yang adil dan bijaksana di
dalam memimpin Kerajaan Kediri, hukum benar-benar ditegakkan di Kerajaan
tersebut. Tidak ada orang dikenakan hukuman badan (artinya hukum kurungan),
sehingga tidak diperlukan rumah penjara, yang ada hanyalah hukum denda. Mereka
yang bersalah harus membayar denda yang telah ditentukan besarnya, bagi pencuri
ataupun penyamun hukumannya tidak lain hukuman mati.
Di dalam Legenda, Prabu Jayabaya pada akhir hayatnya moksa (meninggalkan dunia dengan
jasadnya) di desa Menang daerah Kediri.
Meskipun tidak ada bukti yang meyakinkan, namun banyak orang yang
mempercayainya bahkan di desa itu telah didirikan Monumen oleh yayasan
Hondodento. Tiap pergantian tahun pada tanggal 1 sura diadakan ziarah.
Prabu Jayabaya dimitoskan sebagai tokoh bhatara wisnu,
oleh karena itu weruh sadurunge winarah
( tahu sebelum diberitahu ). Prabu Jayabaya yang bergelar Sang Mapanji Jayabaya
Sri Dharmaishwara Madus Sudana Wartanindhita memang melebihi raja-raja yang
lain. Selain dia dapat mengatur ketatanegaraan/pemerintahan dengan
sebaik-baiknya, juga oleh sebagian orang dianggap masih titisan Bhatara Wisnu yang
terakhir. Lebih-lebih karena wajahnya yang tampan disertai kepandaiannya dalam
berbagai hal untuk menambah ketenaran sang prabu.
Bidang Ekonomi
Pada masa pemerintahan Prabu Jayabaya (1135-1157 M),
Kerajaan Kediri mencapai puncak kejayaan. Saudagar Cina bernama Kho Ku Fei pada
tahun 1200 M, mencatat bahwa Kerajan Kediri merupakan Negara yang teratur serta
telah memiliki mata uang emas dan aturan pajak yang baik.
Kerajaan Kediri menjadi terkenal bukan saja hubungan
didalam negeri tetapi juga hubungan dengan luar negeri. Hal ini sejalan dengan
keterangan Andjar Any (1984:45) sebagai berikut:
Hubungan dengan luar negeri sudah sangat maju bahkan catatan
Tionghoa memberitakan bahwa diwaktu itu ada suatu Kerajaan besar di Pulau Jawa
yang bernama Kediri
dengan rajanya bernama Jayabaya. Dikisahkan bahwa penduduk Kediri mempunyai adat rambutnya dibiarkan
terurai, memakai kain sampai kebawah lutut bertempat tinggal dirumah yang cukup
bagus. Laintainya terbuat dari batu ubin berwarna-warni ada yang hijau, kuning,
dan lain-lainnya. Sedangkan raja rambutnya tidak diurai tetapi disanggul
memakai pakaian terbuat dari sutera alam. Kakinya memakai terompah (sepatu)
terbuat dari kulit binatang.
Berdasarkan keterangan diatas dapat diambil pengertian
bahwa menurut catatan Tionghoa sudah ada Kerajaan besar di Pulau Jawa yaitu Kediri dengan rajanya
bernama Prabu Jayabaya. Di negara tersebut sudah ada gedung tempat pertemuan
dengan para saudagar, semacam gedung niaga atau kamar dagang. Disitulah para
pedagang asing bertemu dengan pedagang pribumi. Orang-orang Negara tetangga
datang dengan membawa barang-barangnya dan mengambil barang-barang dari hasil
pribumi Kediri.
Pasar-pasar ramai, lebih-lebih pasar di pelabuhan besar yakni di Canggu tempat
barang-barang dan hasil bumi dari seluruh Kepulauan Indonesia sebelah timur terkumpul.
Produksi Kerajaan Kediri waktu itu tercatat oleh Musafir Tionghoa antara lain
berupa padi, karang-karang, tebu, keladi, pisang, papaya, kelapa, kulit manis
kayu cendana, lada dan lain-lainnya. Sedangkan hewan ternak yang dipelihara
berupa ayam, itik, kambing, lembu, ikan, dan penyu. Peternakan penyu yang
dijaman sekarang ini agaknya kurang mendapatkan perhatian waktu itu sudah
merupakan home industri.
Disamping hasil-hasil tersebut Kediri dibawah Prabu Jayabaya juga mempunyai
hasil lainnya seperti: emas perak, gading, colak badak, kapas dan sutera. Suatu
hasil yang mempunyai daya jual yang kuat diwaktu itu, agaknya home industri
sutera alam dengan memelihara ulat sutera serta penanaman pohon murbei sudah
berkembang diwaktu itu.
Pajak dagang juga sudah ada, sehingga dengan ramainya
perdagangan tersebut pendapatan pemerintah juga besar. Hal ini sejalan dengan
keterangan Wojowasito (TT:36) sebagai berikut:
Menurut catatan keropak Tionghoa itu besarnya pajak sekitar
sepersepuluh dari hasil jual. Sebagai sarana tukar sudah ada uang yang terdiri
dari uang daun perak dan uang kuningan. Sayang sekali bahwa keropak tersebut
tidak menyebut bentuk serta nilai tukarnya dari kedua mata uang tadi. Karena
perdagangan maju maka terciptalah kemakmuran. Terutama bagi para bangsawannya,
bahkan waktu itu dinyatakan hanya ada tiga Negara terkaya didunia, satu
Kerajaan Kholifah ditanah Arab, kedua Negara di Pulau Jawa (Kediri) dan ketiga Negara Sriwijaya.
Berdasarkan keterangan diatas dapat diambil pengertian
bahwa menurut catatan keropak Tionghoa besarnya pajak yang diberlakukan di
Kerajaan Kediri pada waktu itu sekitar sepersepuluh dari hasil jual.
Pertanian amat maju karena selain tanahnya yang memang
subur juga disebabkan negara tidak dalam keadaan perang sehingga raja nya dapat
mencurahkan perhatiannya kepada pembangunan tanggul-tanggul, sungai dan
perbaikan pengairan.
Kerajaan
Kediri
Prabu Airlangga dari Kerajaan Kahuripan membagi negaranya menjadi 2
bagian dengan maksud suci agar terjalin kerukunan antara keturunannya. Garis
perbatasan dibuat oleh kekuatan gaib Empu Barada, namun belum sampai kepada
generasi cucu dan buyut, baru berselang beberapa tahun setelah raja Airlangga
yang nama lengkapnya: Sri Maharaja Rake Halu Sri Lakeswara Darmawangsa
Airlangga Ananta Wikramatungga Dewa meninggal dunia, peperanganpun berkobar
kedua negara itu yang satu dinamakan Doho atau Kediri, sedangkan yang kedua
dinamakan Panjalu atau Jenggala.
Setelah Prabu Airlangga meninggal selang beberapa tahun
pecahlah perang saudara antara kedua negara tersebut, mereka tidak
mempersoalkan batas Kerajaan mereka tetapi yang mereka persoalkan ingin
menguasai seluruh bekas Kerajaan Medang Kahuripan, akhirnya peperangan itupun
menghasilkan buah bahwa negara yang besar hanya ada satu ialah Kediri.
Kerajaan Kediri, yaitu Kerajaan yang
terletak di Jawa Timur yang berada di daerah sekitar Lembah Sungai Brantas dan
beribu kota di
Daha, Kerajaan Kediri pada waktu itu merupakan Kerajaan yang sangat jaya sekali
dalam memimpin bumi Jawa Dwipa ke puncak zaman keemasan.
No comments:
Post a Comment